04 March 2015

Kadang Gue Pengen Jadi..

Sebagai makhluk Tuhan yang paling seksi sosial, gue tentu punya jejaring sosial. Beberapa waktu lalu temen gue ada yang nge-Path gambar di atas.
 "Kadang gue pengen jadi wanita karir, lanjut S2, atau keliatan kece. Kadang gue pengen jadi emak-emak aja, dasteran, urus anak, sambil angetin sayur."
Gambar di atas itu menggambarkan kondisi mental gue banget.

Untungnya, gue belum jadi keduanya. Jadi cewek kece yang punya karir oke? Belum. Jadi emak-emak dasteran yang ngurus anak sambil ngangetin sayur? Belum. Karena belum jadi apa-apa, maka gue bebas menentukan gue mau jadi apa.

Gue mau jadi dua-duanya. Maruk, ya? Bodo amat.

Tapi gue nggak mau dioplos. Karena kayaknya gue nggak bisa jadi wanita karir kece, lanjut S2, sambil ngurus anak, dasteran, dan sambil ngangetin sayur. Maka untuk bisa jadi dua-duanya, mungkin gue perlu membuat prioritas. Jadi kece dulu baru jadi emak-emak? Atau jadi emak-emak dulu baru kece?

Tapi mengingat kening Papah gue selalu berkerut dan mukanya selalu sewot tiap ada yang bilang: "Anaknya udah gede, bentar lagi manten, dong," gue memutuskan jadi kece dulu baru jadi emak-emak. Papah gue masuk ke dalam jajaran para Papah yang kalo anaknya didoain cepet nikah malah sewot padahal anaknya udah ngebet. Tapi gue tau, doi sayang gue banget, doi tau gue banget. Papah pengen anaknya puas kerja dulu, puas cari duit, jalan-jalan, hepi-hepi dulu, sebelum jadi emak-emak kece.

31 August 2014

AirAsia Bikin Saya Jadi Bandel

Setelah berkuliah dan tinggal sendiri di Bandung, jauh dari keluarga, perlahan hobi traveling saya muncul. Disponsori oleh bosan dan sumpeknya kuliah teknik, saya mulai jalan-jalan. Kalau lagi nggak ada teman untuk diajak nge-trip, solo-traveling pun jadi. Lalu terdengar kabar yang menggelitik telinga saya.

Teman di kosan sebelah habis traveling ke Korea naik AirAsia.

Kenapa dia bisa ke sana? Selain karena emang udah nabung dari jauh hari, didukung pula dengan tiket AirAsia rute Jakarta-Seoul yang kurang dari setengah harga normal. Gila, pikir saya.

Jiwa penasaran saya terusik. Pengen juga, ih, jalan-jalan ke luar negeri. Sebelumnya saya cuma jagoan Pulau Jawa, itu juga cuma Bandung - Jogja dan sekitarnya saja yang pernah saya jelajahi sendirian. Ternyata nggak cuma saya yang pengen jalan-jalan, teman 1 teman saya juga. Klop, pikir saya, ada teman untuk sharing biaya dan seru-seruan bareng saat trip nanti.

Sembari menunggu musim sale AirAsia, kami berjualan kue untuk menanggung biaya akomodasi. Setiap pagi kami membeli kue di pasar, lalu menitipkannya ke kantin dan mini-market kampus. Hehe, terdengar seperti cerpen di buku pelajaran Bahasa Indonesia, ya? Setiap pagi saya berjuang untuk bangun, melawan dinginnya Bandung di pagi hari, mudah saja untuk kembali terlelap setelah mematikan alarm. Sementara teman saya membawa motor, saya dibonceng sambil membawa kardus berisi kue. Asap knalpot kendaraan sudah jadi sarapan pagi kami.

Akhirnya sale AirAsia dibuka, tepat jam 12 malam. 4 jam sebelumnya kami membuat skenario perjalanan. Negara yang akan kami kunjungi, rute yang akan kami tempuh, serta alternatif jika tidak mendapatkan rute yang kami inginkan. Oh, iya, tanggal perjalanan pun sudah kami plotkan, seminggu setelah UAS (Ujian Akhir Semester), menurut kalender akademik waktu itu.

Berbekal uang hasil jualan, terbeli sudah tiket Jakarta-Singapore, Singapore-Kuala Lumpur, Kuala Lumpur-Penang. Sementara itu tiket pulang Bangkok-Denpasar kami beli pada sale AirAsia di bulan setelahnya. Keren nggak, sih? Promo AirAsia ini karena saking seringnya kadang sampai bikin galau, bawaannya jadi pengen traveling terus.

Promo yang kami peroleh pun beragam, dari harga tiket yang setengah harga normal, sampai tiket nol rupiah. Gara-gara ini saya dan teman saya sempat kalap dan berencana pergi ke 5 negara ASEAN, sayangnya kami keburu eling dan hanya memutuskan pergi ke Singapore, Malaysia, dan Thailand karena nggak yakin bisa mengumpulkan cukup uang untuk akomodasi di 5 negara tersebut. Cukup lama juga jarak pembelian tiket dengan jadwal trip kami, 10 bulan.

Setelah 9 bulan, lahirlah kalender akademik yang baru. Jadwal trip kami berada tepat di tengah-tengah jadwal UAS. Jeng jeng! Aku kudu piye? Yang pasti nggak rela kalau harus ngebatalin trip yang udah dipersiapkan selama ini.

Setelah ngobrol bareng temen, sampai berkonsultasi ke dosen wali, kami, memutuskan untuk bandel. Kami 'bolos' semua jadwal UAS 1 semester. Cool, huh? Terinspirasi dari kata-kata dosen wali: "Ya, enaknya gimana? Terserah kalian. Tapi, kalau saya sih lebih baik menyesal karena melakukan sesuatu daripada menyesal karena nggak pernah mencoba."

Skip UAS bukan masalah, masalahnya adalah bagaimana caranya bolos UAS namun tetap diizinkan mengikuti UAS susulan. Akhirnya 7 dosen kami datangi untuk izin tidak mengikuti UAS dan mohon izin agar diperbolehkan ikut ujian susulan. Tanggapannya macam-macam, diantaranya:

"Jadi kamu lebih milih jalan-jalan daripada masa depan kamu?" kata 1 dosen ganteng, tadinya pengen saya jawab: masa depan saya kan Bapak.

"Wah, jadi kalian habis berapa buat jalan-jalan ini? Keren juga ya kalian," kata salah satu dosen yang kalau ngajar jarang saya perhatikan, jadi ngerasa bersalah.

"Oh gitu? Yasudah, ndak apa-apa. Selamat liburan ya, mbak. Jangan lupa oleh-olehnya," kata bapak doesn yang kalau ngajar suka jayus, mau ngelucu tapi nggak lucu. Nanti kalau saya diajar sama Bapak lagi, saya janji bakal ketawa tiap Bapak ngelucu.

Jadi, ini nih! Gara-gara AirAsia saya jadi bandel, bolos-bolos UAS. Yang pasti seketika saya dan teman saya jadi ngetop sementara di kampus. Siapa lagi selain kami yang izin bolos UAS untuk seluruh mata kuliah karena mau jalan-jalan?

Dan saya nggak nyesel jadi bandel dan ketagihan nge-trip.

Kalau nggak bandel mungkin saya nggak akan ngerasain nyasar di Changi Airport yang luas dan mirip mall, bahkan kami hampir keluar bandara tanpa lewat immigration check dulu, entah gimana.

Kalau nggak bandel mungkin saya nggak akan ngerasain kedinginan tidur di LCCT, Low Cost Carrier Terminal, mandi di sana pagi-pagi sebelum akhirnya ngebolang di Kuala Lumpur.

Kalau nggak bandel mungkin saya nggak akan foto-foto di depan Petronas.

Kalau nggak bandel mungkin saya nggak akan tahu gimana rasanya di-eek-in burung di sekitaran Orchard Road.

Kalau nggak bandel mungkin saya nggak akan tahu gimana rasanya nongkrong di deket Merlion.

Kalau nggak bandel mungkin saya nggak akan tahu rasanya naik BTS, Bangkok Mass Transit System, lalu berdempetan dengan para ladyboy yang cantiknya ngalah-ngalahin Olla Ramlan, tapi begitu ngomong suaranya kayak Ebiet G Ade.

Kalau nggak bandel mungkin saya nggak akan tahu rasanya disuit-suitin sama tukang ojek di pengkolan penginapan. Mereka ngomong Bahasa Thailand, setelah dipikir-pikir, mungkin saya dikira cewek lokal sana, toh wajah orang Thailand dengan Indonesia sebenarnya nggak banyak berbeda.

Kalau nggak bandel mungkin saya nggak akan tahu rasanya nyusurin Gurney Drive, makan Asam Laksa dan pancake pisang.

Kalau nggak bandel mungkin saya nggak akan tahu gimana betenya telat bangun, nyasar, lalu ketinggalan minivan yang harusnya membawa kami dari Penang ke Phuket, lalu harus mengeluarkan ongkos tambahan untuk minivan Penang-Hat Yai dan bus Hat Yai-Phuket

Kalau nggak bandel mungkin saya nggak akan tahu rasanya naik lift di MBK Shopping Center lalu ada bapak-bapak yang nanya: "Are your nose real?" WTF, dikira hidung saya hasil oplas apa?! Padahal mancung banget juga kagak,

Kalau nggak bandel mungkin saya nggak akan tahu rasanya ke Big Buddha di Phuket, lalu ngobrol sama bapak-bapak dan dibilangin : "Oh, I thought you're from India, you look like Indian," krik-krik. Ada apa sih dengan muka saya?

04 June 2014

Yakin Motornya Udah Mau Dibalikin?



Pentingnya transportasi dengan motor di Jogja baru terasa pas ngetrip kemaren. Jadi waktu itu kami memutuskan untuk pulang hari Sabtu, tiket sudah dibeli. Namun karena kecentilan dan masih betah di Jogja kami memutuskan nginep sehari lagi, ditambah rasanya aneh kalo jalan-jalan tapi uang yang dikeluarin belum lebih dari budget yang sudah ditentukan. Padahal pas balik bandung kerjaan tiap hari makan nasi sama tempe doang, gara-nombok, pfft.

Tiket pulang hari Sabtu sudah di tangan, dan di hari Sabtu pagi pula kami keiling mencari tiket pulang. Padahal seharusnya Sabtu, pukul setengah 2 siang kami naik kereta Pasundan untuk balik ke Bandung.

Tiket kereta menuju Bandung dan Jakarta sudah habis. Tinggal tersisa kereta, gue lupa namanya, menuju Jakarta dengan tarif 350 ribu. Sempat berpikir, apa nggak jadi nambah sehari dan tetep balik ke Bandung seperti rencana semula ya?

Kami berdua galau, sambil kelaparan. Ditambah lagi, motor sewaan udah dibalikin dan hal tersebut membuat mobilitas kami terhambat.

Dari stasiun kami berencana untuk mencari tiket travel atau bus di sekitaran Tugu, ada, tapi mahal. Untuk 1 tiket bus kami dikenai biaya 180 ribu.

Nggak ada transportasi, perut lapar, dan teriknya matahari Jogja sempat bikin gue agak bete waktu itu, tapi bete doang nggak akan membantu. Maka gue mencoba untuk nggak bete, tapi gue nggak bisa mencoba untuk nggak lapar.

Akhirnya, kami menuju Giwangan naik Trans Jogja. Kali itu waktunya udah mepet banget. Kami harus menuju Giwangan, beli tiket bus, dan balik lagi ke stasiun, untuk refund tiket kereta.

Hal terburuk yang mungkin terjadi adalah kami nggak dapat tiket bus dan juga ketinggalan kereta karena kelamaan bolak-balik Giwangan. Untungnya nggak.

Tiket bus seharga 130 ribu terbeli sudah. Selanjutnya tinggal bagaimana balik ke stasiun dengan cepat sementara itu bus Trans Jogja jalannya pelan dan agak memutar karena kami naik bus yang rutenya memutar agak jauh, pfft.

Takut nggak keburu, kami berpisah di halte, ng halte mana gue lupa. Gue tetap naik Trans Jogja, dan si kampret naik ojek ke stasiun untuk refund tiket. Kala itu gue nggak bawa hape dan nggak bawa duit, sementara itu karena keputusan untuk pisahnya baru terjadi sesaat sebelum gue masuk ke Trans Jogja, maka kami belum sepakat bakalan ketemu dimana nantinya.

Akhirnya gue naik Trans Jogja sendirian, tanpa hape dan uang sambil mikirin ini ntar gue mau kemana. Gue berhenti di halte Malioboro lalu berjalan ke Stasiun Tugu. Padahal gue nggak harus berjalan jauh ke Stasiun Tugu kalau gue berhenti di halte Mangkubumi. Ah, sudahlah.

Sampai di Stasiun Tugu, si kampret nggak ada. Gue galau. Mana sempet diikutin dan digangguin mas-mas nggak jelas. Akhirnya gue menuju Malioboro, sambil galau juga.  Gue memutuskan bakalan berjalan cuma sampe Mall Malioboro, kalau dia nggak ada, gue berencana untuk naik becak lalu ngutang sama resepsionis hotel buat bayar becak karena dompet gue dan dompet dia dibawa oleh dia.

Tapi ternyata, di tengah terik matahari dan lapar serta hausnya gue yang udah maksimal, sesosok cowok berkacamata, berbaju ungu berdiri di seberang jalan, padahal belum jauh gue berjalan dari rel kereta Malioboro. Tiba-tiba gue berasa alay, karena ketika gue melihat dia, ada bunga-bunga bermekaran dan pelangi melengkung di langit. Tadinya manyun rasanya langsung ilang capeknya, tapi lapernya tetep ada. Akhirnya gue nggak ilang. Akhirnya gue nggak jadi ngutang sama resepsionis hotel. Akhirnya gue makan gudeg dan minum Extra Joss susu dingin. Yeah~

Pesan moralnya adalah jangan gegabah ngebalikin motor sewaan kalo ada urusan yang masih mau diurus dengan cepat. Coba kalo tadi motornya nggak jadi dibalikin, pasti bisa lebih cepet ngurus tiketnya, dan nggak perlu bayar ojek 40 ribu, HAHAHA.

Oiya, namanya daerah wisata macam Jogja, mending kalo mau naek becak, ojek, atau beli apapun tanya dulu harganya dan ditawar. Kalo nggak? Ya gitu, ongkos ojek deket aja bisa dikasih 40 ribu.

Btw, ini nggak nyambung sih, tapi beneran gaes, nggak bosen gitu sampe Jogja fotonya di plang Malioboro mulu?

Kebanyakan orang berfoto di plang Malioboro atau Pasar Kembang. Sementara itu, ada yang tahu Jl. P. Mangkubumi itu kawasan apa? Hayoo~


Jogja (Again and Again)

Dalam rentang waktu 2 tahun, gue sudah mengunjungi Jogja sebanyak 4 kali. Jogja asik.

Perayaan Waisak 2014 



Tahun 2012 lalu gue juga menghadiri Perayaan Waisak di Borobudur. Perayaan tahun 2012 nggak seheboh tahun 2013 yang (katanya) rusuh dan membuat inti dari Perayaan Waisak, yang merupakan hari besar keagamaan, menjadi hilang. Katanya waktu itu pengunjung bahkan menganggap seolah-olah Perayaan Waisak di borobudur hanya sekedar tontonan dan hiburan wisata, mereka lupa, ini hari besar keagamaan. Bayangin, gimana kalo misalnya lo lagi sembahyang terus difoto-fotoin, orang-orang di sekitar nganggap lo kayak tontonan, padahal lo lagi pengen sembahyang. Nah, udah tau kayak gitu, kenapa gue masih mau dateng ke Perayaan Waisak? Ngeganggu kan?

Gue penasaran. Dan lagi Perayaan ini dibuka untuk umum. Kalau tahun 2012 lalu gue dateng sendiri, untunglah di tahun 2014 ini nggak dateng sendirian lagi :)



Perayan Waisak tahun ini beda dengan yang gue datangi di 2012 lalu. Pada 2012 lalu, Upacara Detik-detik Waisak ada di sekitaran jam 10 pagi, dan pelepasan lampion ada di jam 10-an malam, agak ngaret karena waktu itu sempat hujan. Nggak mungkin kan mau ngelepasin lampion pas ujan-ujan.

Perayaan Waisak tahun ini, Upacara Detik-detik Waisaknya ada di jam setengah 2 pagi, dan pelepasan lampionnya ada di jam setengah 3, menurut jadwal di Walubi. Walau pada kenyataannya, pelepasan lampion ngaret dan dilepas sekitar hampir jam 4-an.

Kalau tahun 2012 gue mengamati Perayaan Waisak dengan takjub, kali ini beda. Kali ini gue lebih mengamati bagaimana Perayaan Waisak diselenggarakan.

Sebagai pengunjung, awam, bukan penganut Buddha, gue datang untuk 'menonton' Perayaan Waisak dan Pelepasan Lampion. Maka dari itu, tulisan ini gue buat dari sudut pandang gue sebagai pengunjung yang tidak sedang ingin beribadah.

Menurut gue, pelaksanaan Perayaan Waisak ini serba nanggung. Kalau memang Perayaan Waisak ini juga memiliki sisi komersil dan memang dibuat sekaligus untuk acara tontonan, maka dapat gue katakan panitianya harus memperbaiki sistem kerja mereka yang cenderung lelet dan nampak nggak terkoordinasi.

Sementara kalau Perayaan Waisak ini memang dikhususkan untuk ibadah, maka seharusnya, kalaupun memang mau dibuat ada pengunjung, ada pembatasan, atau bahkan tidak usah ada 'penonton' sama sekali. Kenapa?

Untuk masuk ke pelataran Candi Borobudur, pengunjung diharuskan membawa Undangan. Undangan tersebut bisa diperoleh dengan cara membelinya, 1 undangan bisa digunakan untuk 2 orang. Dengan tarif (harus membeli) 100ribu, pengunjung akan mendapat 2 undangan dan 1 kupon untuk 1 lampion. Gue berhasil masuk, dengan patungan barengan 2 orang lainnya. Sekitar jam 2-3 pagi, menjelang Pelepasan Lampion, masih banyak orang-orang yang nggak bisa masuk karena Undangannya habis. Dan mereka dengan bar-barnya neriakin, entah neriakin siapa, sesekali memaki petugas polisi yang berjaga di situ.



Jadwal acara mengatakan pukul setengah 3 pagi Pelepasan Lampion akan dilakukan, sementara itu hingga pukul setengah 2, belum diadakan penukaran kupon yang sudah dibeli dengan lampion. Sementara itu akan ada 1000 lampion yang akan diterbangkan. Kebayang? penukaran 1000 lampion dengan rentang waktu yang sempit serta nggak adanya lintasan antrian pengambilan lampion dan lokasi dengan petunjuk informasi yang jelas. Panitia seakan nggak terkoordinasi, para penukar tiket bahkan nggak sedikit yang marah-marah.

Jalur untuk pulang. Jalur untuk keluar dari Kawasan Candi Borobudur nggak sama dengan jalur masuknya. Sayangnya nggak ada papan atau petunjuk informasi yang jelas. Sehingga, gue yang nongkrong di depan Candi Borobudur karena udah capek, melihat berkali-kali polisi yang jaga ngejelasin kepada pengunjung mengenai rute keluar dari kawasan Borobudur. Kalo gue jadi polisinya mungkin gue akan merekam suara gue sendiri, tiap ada pengunjung yang salah jalur keluar tinggal gue puterin rekamannya. Dan pada saat itu, panitia yang ada di situ tidak terlalu membantu dengan tetap diam saat si polisi panjang lebar menjadi pusat informasi buat pengunjung yang mau pulang.

Capeknya berangkat di kala Jogja masih ujan jam 10 malem, dan capeknya jalan-jalan di Borobudur sambil nahan ngantuk, terbayar ketika akhirnya Pelepasan Lampion. Keren. Dan tahun ini gue kebagian ngelepasin lampion jugaa^^









8 Pantai dalam 4 jam

Mungkin Jogja bukan kota wisata yang identik dengan pantai, lebih terkenal dengan Candi dan wisata Keraton-nya. Padahal, banyak pantai di Jogja yang masih sepi, bagus, asik buat foto, dan mirip-mirip. Pantai di Jogja mirip-mirip semua, itu karena terletak dalam satu garisan Pantai yang sama.

Selama ini yang terkenal hanya pantai Parangtritis, padahal kalo menurut gue kurang asik, ombaknya terlalu besar untuk direnangi. Ah~

Tiba di Pintu masuk menuju Baron sekitar jam 2 siang, kami memutuskan untuk mendatangi 8 pantai yang ada di kawasan tersebut. Dimulai dari yang paling jauh, dengan urutan : Baron - Kukup - Sepanjang - Drini - Krakal - Sundak - Indrayanti - Pok Tunggal.

Tipikal dari ke-8 pantai ini adalah tekstur pasirnya yang agak kasar dan warnanya krem terang, dengan tebing dan pepohonan di pinggirnya, pantai yang berbatu dan penuh tumbuhan lautnya, sehingga susah kalau mau berenang bebas. Paling banter yang berendem-berendem unyu aja.

Terus, udah tau pantainya mirip semua, kenapa masih didatengin semua? Pfft, biar pernah. Biar kalo ada yang nanya, "Lo udah ke Pantai Anu?" Gue bisa tersenyum sombong, mengibas rambut, lalu bilang "Pfft, ya udah lah~"
















Ini gue dimana hayoooo?


Sehari Semalam di Segara Anakan





Menikmati Malam di Segara Anakan

Menyantap mie instan, teh hangat, dan biskuit sebelumnya tak pernah senikmat ini. Mungkin karena perut sedang lapar,badan lagi capek, dan yah.. cuma itu yang bisa gue dan teman-teman makan, saat itu. Bukan, ini bukan drama anak kosan di akhir bulan. Ini cerita di kala kemah di Segara Anakan.

Menenggak air putih sebelumnya tak pernah selega ini. Ini karena kami menjatah konsumsi air putih supaya tetap ada air minum hingga esok hari.

Dengan badan yang penuh keringat, tepat sebelum matahari terbenam kami tiba di Segara Anakan, setelah hampir 2 jam menyusuri hutan yang becek dan berlumpur bekas hujan malam sebelumnya. Sesegera, tubuh yang penuh keringat ini berlari tak terkendali tatkala melihat hamparan pantai terbentang di depan mata. Akhirnya, gue sampe juga di sini.

Diiringi dengan gerimis, kami membangun tenda. Ada 2 tenda yang dibangun, yang 1 berhasil berdiri dengan baik, yang 1 lagi, bisa, tapi bahkan tendanya nggak bisa dibuat tempat berteduh sambil duduk karena saking cepernya, entahlah. Beruntung hujan tak jadi datang, sehingga kami bisa memasak makanan malam itu di luar tenda dengan aman dan nyaman.

Angin laut bertiup, kadang membuat api kompor mati. Bau asin dan laut bersliweran, segar. Suhu malam itu tak bisa disebut panas, namun juga tak terlalu dingin. Angin malamnya Bandung masih belum tertandingi. Seusai makan, kami mengobrol, selanjutnya, ada yang tidur di tenda dan ada yang masih lanjut mengobrol hingga lewat tengah malam.

Lepas tengah malam, perlahan langit menjadi ramai penuh bintang. Ditambah deburan ombak yang ada di balik tebing sana, ombak Samudra Hindia, membuat rasanya tak ingin tidur. Sayang untuk melewatkan momen seperti ini. Namun apa mau di kata, esok harinya kami harus menempuh perjalanan kembali ke Malang.









Pantulan Matahari Pagi di Samudra Hindia

Akibat tidur terlalu malam, gue bangun kurang pagi dan melewatkan momen sunrise. Sunrise paling keren di Segara Anakan adalah jika lo memanjat tebing yang menghadap ke Samudra Hindia. Dari situ lo akan  melihat matahari muncul lalu perlahan menerangi tebing dengan cahayanya yang kuning keemasan dan menimbulkan pantulan di riak gelombang Samudra Hindia. Sayang gue kesiangan, tapi tetep sih, kebagian dikit kok matahari paginya.

Seusai menikmati sunrise, kami sarapan, lalu bermain-main di pantai. Sulit rasanya untuk nggak betah di sana. Bayangkan, kali ittu cuma ada 2 rombongan yang kemah, dan yang satunya pulang pagi-pagi. Otomatis untuk beberapa saat Segara Anakan hanya milik kami.

Berenang di airnya yang hijau-biru. Menaiki pohon dan lompat ke air yang ada di bawahnya dari dahan pohon yang tinggi. Sekedar berenang-berenang mengapung sambil memandangi pepohonan di tebing beserta monyet yang melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Lupakan yang namanya takut hitam kebakar matahari. Lupakan yang namanya sunblock. Gue udah nggak mikir itu lagi, bahkan.

Ketika matahari semakin tinggi, artinya kami harus makan siang. Packing. Pulang. Berat rasanya.

Katanya bagian Pulau Sempu sudah jadi cagar alam dan tak boleh dimasuki wisatawan. Tak heran, mungkin karena banyaknya sampah yang tertinggal sehingga merusak eskosistem Pulau Sempu. Memang, banyak sampah menumpuk di pinggiran tebing tempat tenda kami berada. Padahal, tak sulit membawa kembali sampah yang kita hasilkan, nggak ada berat-beratnya.

Maka dari itu, dilema memang. Di sisi lain ingin rasanya mengeksplorasi dan mengabarkan pada dunia bahwa Indonesia punya keindahan alam yang luar biasa, walau aksesnya susah. Di sisi lain, kadang gue berharap orang tetep nggak banyak tahu tentang keindahan Indonesia, biarin aja aksesnya susah, biar nggak dikotorin sama pengunjungnya.














Terima kasih Segara Anakan buat keindahannya. Terima kasih juga, kalian :*