Nah, event yang kemaren gw datengin itu punya tema #AmplifyingTheWonders ,yang pengen gw bagiin disini adalah apa yang gw dapet dari acara kemaren..
Speaker kedua diisi oleh Fransiska Putri Wina (yang kanan). Perempuan, imut, kecil, with a big-big-brain. Jadi Fransiska ini adalah salah satu peserta termuda dalam Singularity University Graduate Studies Program 2012 (GSP12) berkat prestasinya menjuarai Global Impact Competition. Di Singular University, bersama 2 rekannya, Fransiska mempunyai sebuah project bernama MedSensation, lalu membuat sebuah alat yang bernama Glove Tricorder. Penelitian menunjukan bahwa pemeriksaan medis tetap lebih akurat jika dilakukan dengan sentuhan langsung manusia, walaupun angka (seperti temperatur tubuh) akan lebih eksak jika diukur menggunakan alat, sekitar 20% hasil penelitian berubah saat diadakan kontak langsung antara penderita dengan pemeriksa. Dari situlah mereka membuat Glove Tricorder itu. Glove Tricorder ini memiliki beberapa sensor, dengan masing-masing fungsi, seperti untuk memeriksa temperatur tubuh, denyut nadi, dan tonjolan dalam tubuh. Lengkapnya bisa ditonton disini.
Speaker ketiga, penutup sesi 1 ini adalah Tesla Manaf. Ganteng, lucu, dan jago maen gitar. Doi adalah seorang gitaris yang dulunya waktu kecil mengidap OCD, tapi katanya, itu adalah cobaan sekaligus anugerah, karena itulah yang memacu dia tetap "haus" dalam menggali musiknya. Karya terbarunya yang sempet ditampilin kemaren adalah perpaduan melodi gitar dengan gamelan Bali, dan asli, waktu gw denger, berasa pindah pulau, ihihihi. "Gw seneng kalo orang yang denger musik gw bisa ngerasain apa yg gw rasain. Dulu gw cuma pengen dilat orang aja, kereen kalo maen gitar, tapi percuma kalo orang gak ngerti apa yang gw sampein", gitu kata dia. "Jadi, terkadang dengan bermain gitar, atau apapun yang lo senengin, orang bisa tau, lo itu sebenernya kayak apa, dan buatlah orang terkesan. Orang mati paling ninggalin nama, tapi kalo lo memiliki sesuatu yang bikin orang laen berkesan, maka lo bakal abadi"
Daaaan, setelah sesi pertama, ada coffee break dulu, yang mana gw emang udah laper banget, karena pas berangkat belon sempet sarapan, terus gw makan donat dari DoodleDonuts dan cupcakes dari WPBites. Lalu, mari kita lanjut ke sesi 2..
Pembuka sesi kedua ini ada Hokky Situngkir yang membuai penonton lewat paparan datanya tentang kebudayaan Indonesia. Ternyata, semua kebudayaan yang ada di luar negeri, seperti contohnya rumah-rumah adat Afrika, Stonehenge, dan Kuil Mayan, Indonesia punya sesuatu yang mirip-mirip dengan itu. Bayangkan, kebudayaan dari berbagai negara berkumpul hanya di satu negara, Indonesia! Dan yang lebih keren lagi 10% dari jumlah bahasa yang ada di dunia, terletak di Indonesia! Kita punya pola batik yang unik dari tiap provinsi, bahkan yaa, misalnya, untuk menggambarkan sebuah awan saja, tiap provinsi punya interpretasi penggambaran yang berbeda-beda. Untuk membantu mendata dan terus melestarikan kebudayaan Indonesia ini, Hokky Situngkir membuat gerakan Sejuta Data Budaya dan menyediakan sebuah web: www.budaya-indonesia.org . Para netizen bisa mengunggah foto yang berkaitan dengan kebudayaan Indonesia dan tentu saja menuliskan beberapa hal tentang foto tersebut. Hokky Situngkir menyebutkan "Indonseia adalah Galapagos bagi kebudayaan dunia", bukan gak mungkin evolusi kebudayaan bisa diteliti dari Indonesia yang mungkin saja akhirnya memunculkan teori baru dalam perkembangan kebudayaan.
Setelah terpukau dengan kebudayaan Indonesia, lalu ada Yu Sing. Yu Sing adalah seorang arsitek yang membuat gerakan Arsitektur Untuk Semua, dimana motivasinya adalah menyediakan desain rumah yang murah dan ramah lingkungan untuk penduduk yang kurang mampu. Berlatar belakang dengan rasa "berhutang"nya terhadap penduduk kampung yang terus terkena imbas dari pergerakan kota. "Saat kita mengkampanyekan Go Green, mereka sudah lebih dulu, walaupun karena terpaksa oleh keadaan. Konsumsi listrik mereka yang miskin tidak mungkin lebih daripada yang kaya." Yu Sing tidak hanya berkoar-koar, tapi beliau bertindak, terbukti dengan banyaknya respon permintaan desain rumah murah yang sudah dibuatnya, yang sudah berdiri, dan penggunaan material bangunan yang sungguh tak pernah terpikirkan namun memberikan hasil yang tak kalah dengan rumah dengan desain mahal. "Kita berhutang dengan warga kampung" itu yang jadi penekanan Yu Sing dan membuatnya tetap berkomitmen dengan misinya.
Setelah kembali terpukau dengan Yu Sing, ada Kang Satria Yanuar yang bercerita tentang Makanan. Pas laper-lapernya, topik bahasannya makanan, pas dah, tambah laper #kriuk. Kang Satria menekankan, waktu ia berkunjung ke Amerika, banyak sekali pertemuan-pertemuan di lakukan di restoran Thailand dan Vietnam, yang memang banyak sekali ada di sana. Suatu ketika temannya yang orang asing, berkata "Liburan nanti saya mau ke Thailand." Kang Satria bertanya "Kenapa harus Thailand?" lalu temannya menjawab "Karena saya suka Tom Yum." Dan bukan hanya satu orang saja yang seperti itu. Coba deh, berapa banyak dari kalian yang kepengen ke Korea, atau seenggaknya restoran Korea semenjak tau ada yang namanya Kimchi, Bibimbap, Bulgogi, atau Patbingsu?? Nah, itu dia yang dimaksudkan Kang Satria. Makanan itu mempropaganda. Pemerintah Thailand misalnya, mengirimkan bumbu rempah masakan ke luar negeri, memfasilitasi restoran Thailand, dan mempropaganda masyarakat asing yang bahkan belum tau tentang Thailand, menjadi 'fans' negaranya. Sehebat itulah efek "perut" kita. Kalo udah tau gitu, semangat dong ya makan-makanan Indonesia dan ikut memperkenalkan makanan Indonesia yang nggak kalah enaknya ke dunia luar sana? :)
Penutup sesi kedua ini ada Imelda Rosalin yang mengupas fakta tentang Angka. Sesi Imelda Rosalin ini berasa gw lagi ada di kuliahnya Robert Langdon yang ada di novelnya Dan Brown. Angka, simbol, mitologi Yunani menarik. Jadi seperti yang kita tahu, angka juga berkorelasi dengan musik, not balok dan konversi perhitungannya misalnya. Seperti juga dunia arsitektur yang nggak lepas dari hitungan dan angka-angka disinilah semua itu disatukan: Musik dan Arsitektur. Keren kan? Seorang pemusik yang juga arsitektur dapat membuat mahakarya musiknya melalu bangunan yang dirancangnya. Mbak Imelda sempat menampilkan suatu representasi musik yang di'artikan' dari/dengan sebuah bangunan. Dan, itu yang bikin gw kagum, kalo selama ini, misalnya orang main piano dengan tuntunan partitur, musik yang tadi diputer dimainkan dengan tuntunan angka-angka penyusun unsur/ukuran bangunan tadi, dan pembuatannya bisa jadi sebaliknya.
Sesi kedua tadi akhirnya selesai, lalu dilanjut dengan acara makan siang, yang lumayan bikin kaget. Karena antrean panjang, jadi gw memutuskan untuk nggak ngantri dulu, dan muter-muter venue, yang waktu itu bertempat di Selasar Sunaryo. Ketika gw balik dan antrean udah dikit, pas sampe meja sayur dan lauknya udah ada abis, untung lalapan krupuk nasi sama sambelnya masih ada, hohoho..
Di sesi ketiga ini gw berharap bisa lebih ternganga lagi, karena ritmenya dari sesi pertama ke sesi kedua tadi emang makin memanas #halah
Sesi ketiga ini, dimulai oleh Rahmat Jabaril, seorang seniman yang bercerita tentang Bandung, dan perkembangan jaman. "Bandung dulu nggak begini," katanya, yang dmaksudkan oleh beliau adalah kesemrawutannya, ramainya Bandung yang dipenuhi kafe-kafe.Kota dan wisata yang terus berkembang, yang lagi-lagi nggak mempedulikan warga kampung, padahal seperti daerah Dago misalnya, kemakmuran si empunya kafe berbanding terbalik dengan kesejahteraan warga yang hanya terpisah sepetak jalan dari situ. Lagi-lagi beliau menegaskan, "Kita berhutang banyak pada warga kampung." Dari situ Pak Rahmat membuat sarana-sarana yang mampu meningkatkan kesejahteraan warge kampung dan membantu perkembangan mereka di bidang pendidikan. "Tidak mudah," katanya, untuk kesekian kalinya ada saja oknum-oknum yang tak mau melihat warga kampung maju. Mereka menempatkan intel di belakang rumah Pak Rahmat, menyebarkan isu-isu tentang pak Rahmat, dan banyak lagi. Tapi ternyata, hal itu bukan halangan, beliau tetap maju, dan hasilnya banyak kampung-kamung di bandung yang sudah memiliki sarana umum dan tingkat pengetahuan yang lebih baik. Oiya, beliau bercerita ini sambil ngelukis. Lukisannya belum selesai sat beliau bicara, lalu diselesaikan setelahnya dan jadinya keren donnnngg~
hasil lukisannya Pak Rahmat |
Suasana makin memuncak ketika speaker kedua pada sesi ketiga ini muncul. Beliau adalah Ibu Tri Mumpuni. Bu Puni kali itu tidak membicarakan tentang Mikrohidro-nya tetapi pada waktu itu beliau ingin berbagi tentang (aduh, judul topiknya gw lupa euy, maap.. maap) Kepribadian. "Aura yang berwarna kuning konon adalah aura yang paling baik, karena pada saat itulah, otak/logika bisa bersinkronisasi dengan perasaan" dibuka dengan statement tersebut, Bu Puni menjelasakan tentang 2 kepribadian berbeda yang salah satunya cenderung jadi kepribadian masa kini yang terbentuk akibat sistem pendidikan. Yang pertama adalah kepribadian yang sifatnya hanya mementingkan intelegensi, pada akhirnya kepribadian macam inilah yang membuat manusia hanya mampu berpikir untung-rugi, berorientasi pada hasil tanpa melihat proses, dan memiliki rasa empati yang sangat rendah, sehingga segala pertimbangannya bukan lah hasil perpaduan antara moral dan kepintaran. Yang kedua adalah kebalikan dari yang pertama. Dan.. masih seringkah menemui orang-orang yang mau benar-benar memikirkan apa yang ia kerjakan dan manfaatnya untuk orang lain? Gw sendiri juga tertampar sama pernyataan ini. Lalu.. "apakah kita benar-benar ingin berbuat sesuatu yang berguna untuk orang lain, ataukah itu hanya sekedar kompensasi rasa bersalah dan kewajiban kita dengan apa yang sudah kita capai?" Gimana??
Setelah cukup terhenyak dengan penjabaran Bu Puni. Puncaknya ditutup oleh Bapak Handry Satriago yang merupakan CEO dari GE. Dibuka dengan gombalannya yang berkata "My love is like solar energy, I'm sorry honey - it cannot be for you only" udah bikin penonton tertawa. Cara bicara beliau yang semangat, cerdas, tapi tetep lucu itu yang bikin gw seneng. Beliau cerita tentang Keterbatasan. Keterbatasan dan kemampuan kita buat melompati itu. Ketika itu beliau berkata kepada para bules (bule2) di GE, tentang kepemimpinannya dan timnya yang semua merupakan orang Indonesia, beliau bilang "I'm sorry, we love you, but it's our time", dan di luar ekspektasi, para bule itu dengansenang hati menjawab "Memang ini yang kami tunggu-tunggu. Kami menunggu perusahaan ini bisa dikelola oleh kalian, tapi belum ada yang berani." Dan yah, sebegitu kuatnya efek ketakutan akan suatu keterbatasan. Puncaknya adalah ketika beliau membacakan suratnya yang dimuat di tabloid Tempo, yang ditujukan untuk Future Leader. Suratnya dibacakan dengan intonasi yang pas, waktu itu cuacanya teduh, banyak pohon bambu, pas part-part tertentu entah gimana suara angin dan gemerisik daun bambunya jadi backsound yang pas banget. Isi suratnya maaf kalo di bagian jabatan CEO GE Indonesia dan alamat kantornya saya potong, tidak ada maksud mengurangi keaslian surat asli :) :
Handry Satriago
Jakarta, 9 July 2012
Kepada para pemimpin Indonesia masa depan
Di manapun Anda berada
Di dunia yang semakin global
Saat saya menulis surat ini kepada Anda, dunia yang saya huni ini mampu membuat 112 buah mobil dalam 1 menit, menerbangkan orang non-stop dari Singapura ke New York dalam 18 jam, dan menghasilkan produk “Made in The World” seperti celana jeans yg saya pakai sekarang.
Karena, walaupun saya beli di Bandung dan berlabelkan “Made in Indonesia”, celana ini melibatkan lebih dari 15 negara dalam value chain
pembuatannya.
Malam ini, ketika surat ini saya ketik dengan komputer yang mampu mengumpulkan 411 juta informasi dalam 0.23 detik untuk pencarian kata “leadership”, saya membayangkan keterbatasan mencari pengatahuan yg dihadapi ayah saya, saat mimpinya untuk sekolah sirna karena perang yang berkecamuk.
Saya memikirkan daya apa yang dimilikinya, sehingga dia berani mendobrak keterbatasannya dengan merantau dan berjibaku untuk survive di berbagai kota di Sumatera hingga akhirnya sampai di Jakarta,
Tidakkah dia takut dengan keterbatasannya?
Usianya baru 15 tahun saat itu, dan hidup tidak berjalan seperti yang dia inginkan.
Saya juga terkenang dengan peristiwa mengerikan yang saya hadapi sendiri pada tahun 1987, ketika saya tiba-tiba divonis menderita kanker lymphoma non-hodkin- kanker kelenjar getah bening, yang tumbuh di medulla spinalis saya dan merusaknya sedemikian rupa sampai saya kehilangan kemampuan untuk berjalan. Bulan-bulan yang melelahkan karena harus berobat ke sana ke mari, dan akhirnya berujung kepada keharusan menjalankan hidup dengan menggunakan kursi roda.
Saya ingat betul betapa takutnya saya untuk menjalani hidup saat itu. Keterbatasan menghadang di banyak hal.
Usia saya baru 17 tahun waktu itu, dan hidup berjalan jauh dari yang saya harapkan.
Apa yang bisa dilakukan ketika keterbatasan seakan menjelma menjadi tembok besar dan ketakutan adalah anak panah berapi yang terus dilontarkan kepada kita sehingga kita tidak berani maju dan terus mundur?
Saya, dan mungkin juga ayah saya waktu itu, memulainya dengan menerima kenyataan. Menerima bahwa jalan tidak lagi mulus, bahwa lapangan pertempuran saya jelek, dan amunisi saya tidak lengkap.
“Reality bites” kata orang. Betul itu. Tapi menerima “gigitan” itu berguna untuk membuat kita mampu menyusun strategi baru.
Menghindarinya atau lari darinya justru membuat kita terlena mengasihani diri kita terus menerus dan menenggelamkan kemampuan kita untuk dapat melawan balik.
Kemudian saya mengumpulkan kembali puing-puing mimpi saya. Tidak!
Mimpi tidak akan pernah mati. Manusia bisa dibungkam, dilumpuhkan, bahkan dibunuh, tapi mimpi tetap akan hidup.
Ketika keterbatasan dan ketakutan melanda, mimpi kita mungkin pecah, runtuh, dan berserakan,tapi tidak akan hilang.
Dengan usaha keras, kita bisa menyusunnya kembali, dan ketika mimpi telah kembali utuh, ia akan hidup, menyala, dan memberikan cahaya terhadap pilihan jalan yang akan ditempuh untuk mewujudkannya.
Dua puluh enam tahun menjalani kehidupan dengan kursi roda membuat saya semakin yakin bahwa Yang Maha Kuasa memang telah menciptakan kita untuk menjadi makhluk yang paling tinggi kemampuan survival nya di muka bumi ini.
Kita diberikan rasa takut, yang merupakan mekanisme primitif yang dimiliki organisme untuk survive, yaitu keinginan untuk lari dari ancaman, atau… melawannya!. Ketika pilihannya adalah melawan, maka perangkat perang telah disiapkanNya untuk kita.
Perangkat itu terwujud dalam kemampuan bouncing back—daya pantul, yang jika digunakan mampu membuat kita memantul tinggi ketika kita dihempaskan ke tanah. Kitalah yang bisa membuat daya pantul itu bekerja.
Jika kita tak ingin melawan, perangkat perang tersebut bahkan tidak akan hadir.
Berpuluh kali, atau beratus kali atau mungkin beribu kali saya diserang rasa takut ketika menjalani kehidupan dengan kursi roda ini.
Ketika membuat pilihan kembali ke sekolah,
ketika menyeret kaki untuk menaiki tangga bioskop agar bisa menemani wanita pujaan menonton,
ketika memutuskan untuk kuliah,
ketika menghadapi 4 lantai untuk bisa praktikum kuliah,
ketika harus menjalani kemoterapi,
ketika memulai bekerja,
ketika naik pesawat,
ketika akhirnya bisa ke luar negeri,
ketika melamar calon istri,
ketika mulai bekerja di GE yang penuh dengan orang General Electric International Operations Company, Inc. asing, ketika menerima tawaran untuk mempimpin GE di Indonesia….
Saya takut.
Tembok besar berdiri tegak, angkuh, dan ribuan panah berapi menghujami saya.
Namun seiring dengan rasa takut yang timbul tersebut, mimpi saya untuk dapat menjalankan dan menikmati hidup menerangi jalan yang ingin saya tempuh.
Dan ketika perangkat perang—semangat untuk memantul, saya gunakan, saya seakan menjelma menjadi jenderal yang siap perang, yang didukung oleh ribuan pasukan—keluarga, teman, bahkan orang yang tak dikenal, yang tiba-tiba hadir karena mereka percaya terhadap keyakinan saya.
Saya maju berperang, dengan keyakinan bahwa peperanganlah yang harus saya jalani, saya nikmati.
Hasil peperangan sendiri tidaklah terlalu penting, karena kalaupun kalah, toh saya akan berperang lagi.
Kalau mati, saya akan mengakhiri perang dengan senyum, karena saya tahu saya telah berjuang dengan sebaik-baiknya.
Sang Pencipta lah yang pada akhirnya memilihkan hasil dari perjuangan kita.
Menjadi pemimpin bermula dari memimpin diri sendiri. Mewujudkan mimpi yang ingin dicapai.
Tidak perlu membayar orang untuk menjadi pengikut. Jika mereka melihat anda dengan penuh keyakinan berani mempimpin diri anda sendiri, mereka akan mengikuti dan membantu anda dengan tulus, serta percaya pada kepemimpinan anda.
Saat saya menulis surat ini kepada Anda, dunia tempat saya hidup sekarang ini menghasilkan pendapatan kotor setahun $70 triliun. Sekitar 40% dari pendapatan dunia tersebut dihasilkan oleh 500 korporasi terbesar dunia, dan tidak ada satu pun yang berasal dari negara kita (133 dari Amerika Serikat, 79 dari China, 8 dari India).
Terdapat sekurangnya 136 negara yang berkompetisi di dunia ini untuk mendapatkan keuntungan terbanyak dari proses ekonomi global, dan daya saing Indonesia terukur pada ranking 46. Singkat kata, kita masih belum menjadi pemeran utama di panggung dunia yang tak berhenti mengglobal.
Pekerjaan rumah anda sebagai pemimpin Indonesia tidaklah mudah.
Tidak berarti, tembok besar dan ribuan panah api bisa menghentikan langkah anda untuk berperang.
Gambar Pak Eko Nugroho diambil dari: http://www.spieleautorenzunft.de/game-designer-profiles/member/326.html
Gambar Fransiska Putri Wina diambil dari akun twitternya : @fransiskapw
dikarenakan gw lupa motret waktu mereka jadi speaker, duuh maap.. *sungkem*
Surat Pak Handry gw copy dari http://ipayk.tumblr.com/post/27954753162/surat-pak-handry-satriago-president-ge-indonesia
Thanks~
0 comment:
Post a Comment