- gambar diambil dari Google - |
Lalu gue teringat akan pengalaman gue maen sepak bola waktu jaman esde dulu bareng temen-temen cewek. Entah apa yang ada di benak guru olahraga, entah apa yang ada di benak penyusun kurikulum, entah apa yang ada di benak ketua persatuan guru-guru, entah apa yang ada di benak menteri olahraga, sepak bola masuk ke dalam kriteria penilaian pelajaran olahraga waktu itu.
Kebayang nggak sih 20-an bocah esde, cewek, yang lagi lenje-lenjenya, yang lagi cengeng-cengengnya, yang dikit-dikit ngadu cuma gara-gara jempolnya kesenggol.. disuruh maen sepak bola?? Jadi inilah yang waktu itu terjadi saat gue dan cewek-cewek sekelas disuruh maen sepak bola, waktu kelas 6 esde:
- Kami tidak mengenal posisi yang biasa ada dalam sepak bola, seperti bek, gelandang, penyerang. Buat kami posisi hanya terbagi ke dalam 2 bagian: kiper dan bukan kiper.
- 1 bola akan kami kejar, kemanapun, walaupun ke area di luar lapangan.
- Lapangan akan kosong dan di salah satu sisi lo akan melihat sekerumunan anak kecil, cewek, teriak-teriak, dengan kaki menendang secara brutal tanpa melihat apa yang ditendang. Pokoknya kalo bisa nendang bole itu berasa udah kaya Maradona, yakali.
- Bahkan, terkadang kiper pun tidak berada di dekat gawang karena dia geregetan pengen ikut nendang bola, dia nyebrang ke lapangan sisi lawan.
- Nggak sampai 10 menit akan ada 1 orang, disusul yang lainnya, nangis. Pengaduannya macem-macem, ada yang kakinya keinjek, kejambak sama temennya, didorong sama temennya, kena cakar, dan semua-muanya pelanggaran yang nggak akan ada di dalam pertandingan sepak bola yang biasa lo tonton di tivi.
- Akan ada perang bacot, saling salah2an diantara mereka yang diiringi dengan air mata, dan suara cempreng, sembari ngelap-ngelap ingus yang keluar.
- Hingga akhirnya,. bapak guru pun pusing, dan menghentikan permainan.
0 comment:
Post a Comment