Menyantap mie instan, teh hangat, dan biskuit sebelumnya tak pernah senikmat ini. Mungkin karena perut sedang lapar,badan lagi capek, dan yah.. cuma itu yang bisa gue dan teman-teman makan, saat itu. Bukan, ini bukan drama anak kosan di akhir bulan. Ini cerita di kala kemah di Segara Anakan.
Menenggak air putih sebelumnya tak pernah selega ini. Ini karena kami menjatah konsumsi air putih supaya tetap ada air minum hingga esok hari.
Dengan badan yang penuh keringat, tepat sebelum matahari terbenam kami tiba di Segara Anakan, setelah hampir 2 jam menyusuri hutan yang becek dan berlumpur bekas hujan malam sebelumnya. Sesegera, tubuh yang penuh keringat ini berlari tak terkendali tatkala melihat hamparan pantai terbentang di depan mata. Akhirnya, gue sampe juga di sini.
Diiringi dengan gerimis, kami membangun tenda. Ada 2 tenda yang dibangun, yang 1 berhasil berdiri dengan baik, yang 1 lagi, bisa, tapi bahkan tendanya nggak bisa dibuat tempat berteduh sambil duduk karena saking cepernya, entahlah. Beruntung hujan tak jadi datang, sehingga kami bisa memasak makanan malam itu di luar tenda dengan aman dan nyaman.
Angin laut bertiup, kadang membuat api kompor mati. Bau asin dan laut bersliweran, segar. Suhu malam itu tak bisa disebut panas, namun juga tak terlalu dingin. Angin malamnya Bandung masih belum tertandingi. Seusai makan, kami mengobrol, selanjutnya, ada yang tidur di tenda dan ada yang masih lanjut mengobrol hingga lewat tengah malam.
Lepas tengah malam, perlahan langit menjadi ramai penuh bintang. Ditambah deburan ombak yang ada di balik tebing sana, ombak Samudra Hindia, membuat rasanya tak ingin tidur. Sayang untuk melewatkan momen seperti ini. Namun apa mau di kata, esok harinya kami harus menempuh perjalanan kembali ke Malang.
Pantulan Matahari Pagi di Samudra Hindia
Akibat tidur terlalu malam, gue bangun kurang pagi dan melewatkan momen sunrise. Sunrise paling keren di Segara Anakan adalah jika lo memanjat tebing yang menghadap ke Samudra Hindia. Dari situ lo akan melihat matahari muncul lalu perlahan menerangi tebing dengan cahayanya yang kuning keemasan dan menimbulkan pantulan di riak gelombang Samudra Hindia. Sayang gue kesiangan, tapi tetep sih, kebagian dikit kok matahari paginya.
Seusai menikmati sunrise, kami sarapan, lalu bermain-main di pantai. Sulit rasanya untuk nggak betah di sana. Bayangkan, kali ittu cuma ada 2 rombongan yang kemah, dan yang satunya pulang pagi-pagi. Otomatis untuk beberapa saat Segara Anakan hanya milik kami.
Berenang di airnya yang hijau-biru. Menaiki pohon dan lompat ke air yang ada di bawahnya dari dahan pohon yang tinggi. Sekedar berenang-berenang mengapung sambil memandangi pepohonan di tebing beserta monyet yang melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Lupakan yang namanya takut hitam kebakar matahari. Lupakan yang namanya sunblock. Gue udah nggak mikir itu lagi, bahkan.
Ketika matahari semakin tinggi, artinya kami harus makan siang. Packing. Pulang. Berat rasanya.
Katanya bagian Pulau Sempu sudah jadi cagar alam dan tak boleh dimasuki wisatawan. Tak heran, mungkin karena banyaknya sampah yang tertinggal sehingga merusak eskosistem Pulau Sempu. Memang, banyak sampah menumpuk di pinggiran tebing tempat tenda kami berada. Padahal, tak sulit membawa kembali sampah yang kita hasilkan, nggak ada berat-beratnya.
Maka dari itu, dilema memang. Di sisi lain ingin rasanya mengeksplorasi dan mengabarkan pada dunia bahwa Indonesia punya keindahan alam yang luar biasa, walau aksesnya susah. Di sisi lain, kadang gue berharap orang tetep nggak banyak tahu tentang keindahan Indonesia, biarin aja aksesnya susah, biar nggak dikotorin sama pengunjungnya.
Terima kasih Segara Anakan buat keindahannya. Terima kasih juga, kalian :*
0 comment:
Post a Comment