04 June 2014

Jogja (Again and Again)

Dalam rentang waktu 2 tahun, gue sudah mengunjungi Jogja sebanyak 4 kali. Jogja asik.

Perayaan Waisak 2014 



Tahun 2012 lalu gue juga menghadiri Perayaan Waisak di Borobudur. Perayaan tahun 2012 nggak seheboh tahun 2013 yang (katanya) rusuh dan membuat inti dari Perayaan Waisak, yang merupakan hari besar keagamaan, menjadi hilang. Katanya waktu itu pengunjung bahkan menganggap seolah-olah Perayaan Waisak di borobudur hanya sekedar tontonan dan hiburan wisata, mereka lupa, ini hari besar keagamaan. Bayangin, gimana kalo misalnya lo lagi sembahyang terus difoto-fotoin, orang-orang di sekitar nganggap lo kayak tontonan, padahal lo lagi pengen sembahyang. Nah, udah tau kayak gitu, kenapa gue masih mau dateng ke Perayaan Waisak? Ngeganggu kan?

Gue penasaran. Dan lagi Perayaan ini dibuka untuk umum. Kalau tahun 2012 lalu gue dateng sendiri, untunglah di tahun 2014 ini nggak dateng sendirian lagi :)



Perayan Waisak tahun ini beda dengan yang gue datangi di 2012 lalu. Pada 2012 lalu, Upacara Detik-detik Waisak ada di sekitaran jam 10 pagi, dan pelepasan lampion ada di jam 10-an malam, agak ngaret karena waktu itu sempat hujan. Nggak mungkin kan mau ngelepasin lampion pas ujan-ujan.

Perayaan Waisak tahun ini, Upacara Detik-detik Waisaknya ada di jam setengah 2 pagi, dan pelepasan lampionnya ada di jam setengah 3, menurut jadwal di Walubi. Walau pada kenyataannya, pelepasan lampion ngaret dan dilepas sekitar hampir jam 4-an.

Kalau tahun 2012 gue mengamati Perayaan Waisak dengan takjub, kali ini beda. Kali ini gue lebih mengamati bagaimana Perayaan Waisak diselenggarakan.

Sebagai pengunjung, awam, bukan penganut Buddha, gue datang untuk 'menonton' Perayaan Waisak dan Pelepasan Lampion. Maka dari itu, tulisan ini gue buat dari sudut pandang gue sebagai pengunjung yang tidak sedang ingin beribadah.

Menurut gue, pelaksanaan Perayaan Waisak ini serba nanggung. Kalau memang Perayaan Waisak ini juga memiliki sisi komersil dan memang dibuat sekaligus untuk acara tontonan, maka dapat gue katakan panitianya harus memperbaiki sistem kerja mereka yang cenderung lelet dan nampak nggak terkoordinasi.

Sementara kalau Perayaan Waisak ini memang dikhususkan untuk ibadah, maka seharusnya, kalaupun memang mau dibuat ada pengunjung, ada pembatasan, atau bahkan tidak usah ada 'penonton' sama sekali. Kenapa?

Untuk masuk ke pelataran Candi Borobudur, pengunjung diharuskan membawa Undangan. Undangan tersebut bisa diperoleh dengan cara membelinya, 1 undangan bisa digunakan untuk 2 orang. Dengan tarif (harus membeli) 100ribu, pengunjung akan mendapat 2 undangan dan 1 kupon untuk 1 lampion. Gue berhasil masuk, dengan patungan barengan 2 orang lainnya. Sekitar jam 2-3 pagi, menjelang Pelepasan Lampion, masih banyak orang-orang yang nggak bisa masuk karena Undangannya habis. Dan mereka dengan bar-barnya neriakin, entah neriakin siapa, sesekali memaki petugas polisi yang berjaga di situ.



Jadwal acara mengatakan pukul setengah 3 pagi Pelepasan Lampion akan dilakukan, sementara itu hingga pukul setengah 2, belum diadakan penukaran kupon yang sudah dibeli dengan lampion. Sementara itu akan ada 1000 lampion yang akan diterbangkan. Kebayang? penukaran 1000 lampion dengan rentang waktu yang sempit serta nggak adanya lintasan antrian pengambilan lampion dan lokasi dengan petunjuk informasi yang jelas. Panitia seakan nggak terkoordinasi, para penukar tiket bahkan nggak sedikit yang marah-marah.

Jalur untuk pulang. Jalur untuk keluar dari Kawasan Candi Borobudur nggak sama dengan jalur masuknya. Sayangnya nggak ada papan atau petunjuk informasi yang jelas. Sehingga, gue yang nongkrong di depan Candi Borobudur karena udah capek, melihat berkali-kali polisi yang jaga ngejelasin kepada pengunjung mengenai rute keluar dari kawasan Borobudur. Kalo gue jadi polisinya mungkin gue akan merekam suara gue sendiri, tiap ada pengunjung yang salah jalur keluar tinggal gue puterin rekamannya. Dan pada saat itu, panitia yang ada di situ tidak terlalu membantu dengan tetap diam saat si polisi panjang lebar menjadi pusat informasi buat pengunjung yang mau pulang.

Capeknya berangkat di kala Jogja masih ujan jam 10 malem, dan capeknya jalan-jalan di Borobudur sambil nahan ngantuk, terbayar ketika akhirnya Pelepasan Lampion. Keren. Dan tahun ini gue kebagian ngelepasin lampion jugaa^^









8 Pantai dalam 4 jam

Mungkin Jogja bukan kota wisata yang identik dengan pantai, lebih terkenal dengan Candi dan wisata Keraton-nya. Padahal, banyak pantai di Jogja yang masih sepi, bagus, asik buat foto, dan mirip-mirip. Pantai di Jogja mirip-mirip semua, itu karena terletak dalam satu garisan Pantai yang sama.

Selama ini yang terkenal hanya pantai Parangtritis, padahal kalo menurut gue kurang asik, ombaknya terlalu besar untuk direnangi. Ah~

Tiba di Pintu masuk menuju Baron sekitar jam 2 siang, kami memutuskan untuk mendatangi 8 pantai yang ada di kawasan tersebut. Dimulai dari yang paling jauh, dengan urutan : Baron - Kukup - Sepanjang - Drini - Krakal - Sundak - Indrayanti - Pok Tunggal.

Tipikal dari ke-8 pantai ini adalah tekstur pasirnya yang agak kasar dan warnanya krem terang, dengan tebing dan pepohonan di pinggirnya, pantai yang berbatu dan penuh tumbuhan lautnya, sehingga susah kalau mau berenang bebas. Paling banter yang berendem-berendem unyu aja.

Terus, udah tau pantainya mirip semua, kenapa masih didatengin semua? Pfft, biar pernah. Biar kalo ada yang nanya, "Lo udah ke Pantai Anu?" Gue bisa tersenyum sombong, mengibas rambut, lalu bilang "Pfft, ya udah lah~"
















Ini gue dimana hayoooo?


Categories: , ,

0 comment:

Post a Comment