Perjalanan mungkin udah dimulai sejak gue bingung harus bawa apa untuk kemping di gunung, harus pake baju apa? Sampai akhirnya muter-muter dari Pasar Baru sampai Gedebage cuma buat nyari training, dan akhirnya gue beli satu yang warnanya ungu semu pink gitu, heuheu.
Hari-H pun tiba. Pagi-pagi gue bangun, mandi, berpakaian, dan menuju tol Cimahi, buat nyegat bus yang isinya rombongan yang udah duluan berangkat dari Jakarta. Semanya serba mepet.
Bus menuju Garut, kami berhenti di alun-alun Garut. Sebuah mobil pick-up mengantar kami menuju parkiran-Pos Pendakian dengan perjalanan yang lebih dari setengah jam. Gue selalu seneng naek mobil bak terbuka, seru aja rasanya.
Dan disinilah pendakian dimulai. Akhirnya gue tahu rasanya naik gunung.. dan turun gunung. Dengkul gue kayak mau copot, pinggang gue juga, pundak gue juga, semua badan gue rasanya pengen gue copot.
Sejam pertama gue masih euforia gitu, semua rasanya fine-fine aja, girang, lama-kelamaan.. iyaa, masih seneng, masih euforia juga, tapi napas gue udah mulai ngos-ngosan. Padahal untuk ukuran pendakian, gunung Papandayan terbilang memang buat beginner, dan waktu itu kami banyak berhenti-berhenti buat ngumpulin napas, minum, dan foto-foto, jalannya juga nggak terlalu cepet.
Oiya, walaupun udaranya dingin, jangan berpikir buat pake jaket. Dengan mendaki aja badan gue udah panas dan keringetan.
Big thanks buat earphone yang cuma gue pake di kuping kiri doang, big thanks buat lolipop yang bahkan ketika sudah habis permennya masih gue gigitin gagangnya. Seriously, permen itu ngebantu gue fokus ke hal lain selain rasa capek gue.
From one breathtaking place to another one. Begitulah perjalanan naik turun gunung Papandayan waktu itu. Ada perasaan terharu ketika gue berdiri di satu titik, memandang asap belerang dimana-mana, lalu terus mendakiii, jauh, tinggi, dan ketika dari tempat tinggi tersebut gue bisa melihat tampat dimana gue berdiri sebelumnya. Tempat awal gue berada jauh di sana, jauh di bawah, dan rasanya wow aja dengan tempo waktu sedemikian ternyata napas gue yang ngos-ngosan membawa gue melangkah sejauh dan securam ini.
Pendakian ini membuat gue melewati banyak hal yang pertama kalinya gue lewatin dalam hidup gue.
Melewati tanjakan curam berbatu dimana gue harus mencondongkan badan ke depan dan bikin pinggang pegel.
Melewati turunan curam berbatu dimana gue harus jalan pelan-pelan sambil jongkok karena takut kepleset jatuh berguling dan nyemplung ke jurang.
Melewati jalan berlumpur hampir selutut sambil nyeker.
Melewati kawasan dimana pohon-pohonnya hitam gosong semua dan jalanannya berpasir.
Melewati rumput gimbal dan merasakan embun di kaki telanjang gue, udara sejuk pegunungan dengan pemandangan edelweiss di sekelilingnya.
Duduk di batu besar dan cuma memandang cekungan-cekungan berasap panas, lekukan batu kapurnya, dan bau belerangnya. Pemandangan yang di dominasi gradasi putih-coklat kemerahan. Di batu besar itu gue merasa kecil. Ada momen dimana rasanya semacam tenang.. banget.
Tiduran di tanah miring dengan backpack sebagai bantalnya, bebatuan sebagai alasnya, dengan kabut yang perlahan turun.
Tidur di kemah, beralas semacam terpal yang langsung menyentuh lempengan tanah-batu yang dingin. Tidur dalam sleeping bag, berbalut jaket, dan masih tetap saja kedinginan sampe tulang-tulang gue rasanya ngilu semua.
Terjaga di kemah sampai jam 3 pagi karena kedinginan, nggak bisa tidur karena kedinginan.
Parno saat mendengar gemerisik daun di luar tenda serta gemuruh gunung. Ditambah lagi nggak ada penerangan apapun. Hanya gue dan suara dalam kepala gue yang mungkin keluar dari kepala gue, yang membuat gue mungkin berhalusinasi kalau di luar sana ada yang lagi ngobrol, lalu gue ketakutan sendiri. Kampret.
Mungkin gue masih memproklamirkan diri gue sebagai anak pantai, tapi naik gunung rasanya bukan sesuatu yang bisa gue tolak kalau gue ada kesempatan buat mendaki lagi.
Satu sih nggak enaknya naik gunung. Nggak ada toliet, agak-agak salah tingkah gitu kalo mau pipis di alam terbuka, walaupun udah di deket semak-semak, huuft~
0 comment:
Post a Comment