08 March 2014

Kawah Ijen Crater dan Langit Berbintangnya

Yay! Akhirnya pendakian menuju puncak Kawah Ijen pun dimulai. Langkah demi langkah gue lalui. Setiap langkah yang gue lewati membuat gue tersadar kalo gue udah jarang banget olahraga. Baru beberapa meter nanjak gue udah ngos-ngosan. Puncaknya adalah ketika sampai di batas pagar dimana nantinya kami akan turun mendekati blue fire.

Baru kali itu gue ngerasain susah napas. Udara yang gue hirup kayaknya nggak nyangkut di paru-paru. Selain capek, sesak napas kali itu juga disponsori oleh asap belerang yang baunya bikin hidung pedes. Buat tips aja yak, mendingan kalo mau mendaki gunung yang isinya asap belerang gini pake baju yang paling jarang lo pake, baunya belerang yang nempel di baju nantinya bakalan awet banget. Bahkan setelah 2 bulan di cuci-kering-pake baunya masih ada.

Tadinya gue nggak mau turun ke tempat blue fire nya, takut tambah sesak, mana pake bersin-bersin pula gue. Serba salah, kalo pake masker napas gue jadi kesembur ke kacamata dan itu bikin kacamata gue berembun, gue jadi susah ngeliat jalan. Tapi kalo nggak pake masker, hidung gue gatel.

Hati gue ciut liat jalanan berbatu yang gelap dan curam. Tapi.. gue sudah berjalan sejauh ini, agak dongo, dan sayang banget sih kalo berhenti. Lagi pula, rasanya gue masih kuat kok.

Perjalanan malam itu dilanjut dengan melewati bebatuan kapur yang tidak bersahabat dengan sepatu gue yang sol bawahnya mulai aus. Licin. Penerangan yang minim menambah tingkat kesenewenan gue malam itu.

Walau begitu ada rasa malu sendiri ketika melihat para pengangkut batu yang wara-wiri di sepanjang jalan. Batu yang dipanggul oleh bapak-bapak tersebut beratnya tidak ada yang kurang dari 80kilogram, sementara gue ngebawa badan doang aja rasanya udah kayak ikan diangkat dari air, engap.

Tidak ada yang terburu-buru. Tiap langkah para pemanggul batu tersebut pelan, pasti, dan terasa sekali kalau yang mereka panggul itu memang sesuatu yang luar biasa berat. Hanya hembusan nafas pelan yang bercampur dengan desau angin. Sesunyi itu.

Jalan malam itu kayak nggak ada ujungnya. Gue terus berjalan, bebatuan terus mengulangi polanya. Langit malam itu bertabur bintang, penuh, ramai. Tiap break pendakian gue manfaatkan dengan berbaring di bebatuan dan menatap bintang di langit. Gue nggak ngerti harus minta apa lagi? Pemandangan ini lebih dari apa yang gue harapkan.

Akhirnya, Blue Fire terlihat. Lega. Senang. Girang. Sekaligus males, kalo harus mikirin jalan balik lagi ke starting poin. Tapi.. gue puas dengan apa yang gue lihat.

Blue Fire nya memang nggak sama dengan apa yang ada di bayangan gue. Blue Fire di Kawah Ijen lebih mini dari apa yang gue bayangkan. Tapi, rasa penasaran gue terpenuhi. Satu dari sekian target gue bisa gue beri tanda centang sekarang.

Lidah api biru menjulur-julur dari retakan gunung, dari pipa yang memanjang di sana. Agak ke bawah, ada aliran cairan belerang yang berwarna merah kayak karamel. Gue cuma bisa membayangkan menuangkan cairan merah itu ke atas ice cream.

Semuanya berfoto. Mengingat katanya Blue Fire yang satu lagi adanya di Islandia, maka gue merasa ini seharusnya adalah pemandangan mahal yang gue tempuh dengan harga murah dan effort yang.. yah, biasa aja.

Meski begitu, buat gue pribadi. Langit berbintangnya Ijen lebih terasa spektakuler daripada Blue Fire-nya sendiri. Entahlah.

Sayang bintangnya nggak sempat kefoto.






Categories: , , ,

0 comment:

Post a Comment